Senin, 09 Maret 2009

Pengakuan Mantan Penembak Jitu Israel

Operasi pembunuhan yang mengincar 2 anggota pejuang Hamas itu akhirnya menewaskan 2 orang Palestina yang tak berdosa

Hidayatullah.com--Awal bulan Maret ini, The Independent, surat kabar di Inggris - menampilkan Sniper Zionis Israeltulisan hasil wawancara yang berisi pengakuan seorang mantan anggota skuad pembunuh Israel, yang juga memberikan kesaksiannya kepada organisasi bekas anggota tentara Israel, Breaking the Silence.

Mantan penembak jitu ini, sebut saja namanya J, untuk pertama kalinya bercerita tentang sebuah operasi pada tahun 2000 ketika Intifada dimulai. Yang meninggalkan luka psikologis dalam sehingga sampai saat ini ia tidak berani bercerita kepada orangtuanya bahwa ia terlibat dalam sebuah operasi pembunuhan.

Operasi pembunuhan yang mengincar 2 anggota Hamas itu akhirnya juga menewaskan 2 orang Palestina yang tak berdosa.

Ia tidak berani menampilkan identitasnya sebab secara teori berdasarkan hukum internasional ia dapat dituntut atas operasi pembunuhan itu. Usia J sekitar 30 tahunan. Berasal dari keluarga harmonis dan sekarang tinggal di Tel Aviv sebagi warga sipil. Ia seorang yang cerdas, jelas ketika berbicara dan memiliki ingatan yang kuat hingga hal-hal detil. Ia sangat berhati-hati ketika mengakui bahwa mungkin ada beberapa hal lain yang ia tidak ingat dengan baik.

Di bawah ini kisahnya;

J mantan penembak jitu ini menceritakan bahwa ia dan anggota kesatuan khususnya dilatih untuk membunuh. Namun, kemudian dikatakan operasi itu berubah menjadi operasi penangkapan. Mereka hanya akan menembak jika orang yang menjadi target operasi mempunyai senjata di mobilnya.

"Ketika itu kami sangat terkejut karena operasi itu hanya sebuah operasi penangkapan. Padahal kami ingin membunuh," katanya. Kesatuan khusus itu kemudian menuju Selatan Gaza dan mengambil posisi. Hari itu adalah tanggal 22 November 2000.

Target utamanya adalah pejuang Palestina yang bernama Jamal Abdel Razeq. Ia duduk di kursi penumpang dalam sebuah mobil Hyundai hitam yang sedang melaju ke arah Utara menuju Khan Younis bersama dengan temannya, Awni Dhuhair. Keduanya tidak tahu bahwa ada sebuah perangkap yang sudah menunggu di persimpangan Morag. Daerah itu berada di jalan raya Salahuddin yang mengarah ke Utara-Selatan, melewati pemukiman Yahudi. Razeq sudah terbiasa melihat ada kendaraan APC (armoured personnel carrier) di pinggir jalan, tapi ia tidak mengetahui bahwa petugas yang biasanya berjaga sudah diganti dengan anggota kesatuan khusus angkatan udara Israel, termasuk di dalamnya paling sedikit 2 orang penembak jitu yang terlatih.

Bahkan sebelum Razeq meninggalkan rumahnya di Rafah pagi itu, Shin Bet - intelejen Israel - sudah memantau gerak geriknya dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Yang dipermudah dengan adanya komunikasi telepon selular yang dilakukan Razeq dengan rekannya dan salah seorang pamannya. Orang yang ditugaskan untuk membunuh Razeq "sangat kagum" dengan begitu detailnya informasi yang disampaikan oleh pemimpin Shin Bet; berapa banyak gelas kopi yang ia minum, kapan ia akan berangkat, bahwa Razeq punya sopir dan menyimpan senjatanya di bagasi bukan di dalam mobil. "Dalam 20 menit kami tahu bahwa operasi penangkapan yang dilakukan akan berjalan mudah karena mereka tidak memiliki senjata di dalam mobil," kata J.

Tapi kemudian katanya, perintah tiba-tiba berubah. "Mereka mengatakan bahwa Razeq dalam satu menit ke depan akan datang. Dan kami diperintahkan untuk membunuhnya." J mengatakan sepertinya perintah itu keluar dari ruangan pengendali operasi yang telah disiapkan dan ada kesan bahwa semua pemimpin besar ada di sana, termasuk seorang brigadir jenderal.

Kedua orang Pejuang itu tidak mencurigai apapun hingga saat mereka mendekati persimpangan, bahkan ketika truk pengangkut milik IDF [tentara Israel] bergerak perlahan untuk memotong jalannya di persimpangan. Meraka sama sekali tidak tahu bahwa truk itu penuh dengan tentara Israel yang bersenjata lengkap yang sedang menunggu momen. Sementara itu sebuah kendaraan 4x4 bersiap di tepi jalan, berjaga-jaga jika "suatu kesalahan tak terduga" terjadi.

Dan memang akhirnya suatu kesalahan terjadi. Truk IDF itu terlalu cepat bergerak, dan akhirnya menghalangi tidak hanya mobil Hyundai hitam, tapi juga sebuah taxi Mercedes berwarna putih di depannya. Taxi itu membawa 2 penumpang, Sami Abu Laban 29 tahun seorang tukang roti dan Na'el Al Leddawi 22 tahun seorang mahasiswa. Mereka dalam perjalanan dari Rafah menuju Khan Younis untuk mencari mesin diesel yang langka untuk membakar oven-oven milik mereka.

Menjelang saat-saat kritis, J mengatakan bahwa tangannya mulai bergetar. "Saat itu saya menunggu datangnya mobil dan saya mulai kehilangan kontrol atas kaki saya. Saya memegang senjata M16 yang dilengkapi digicom [teropong khusus untuk penembak jitu]. Saat itu aneh rasanya. Saya merasa berkonsentrasi penuh. Kemudian hitungan mundur dimulai, kami mulai melihat mobil-mobil bergerak mendekat. Kami melihat ada 2 mobil yang mendekat, bukan satu. Mobil pertama jaraknya sangat dekat dengan mobil kedua. Kemudian truk mulai bergerak. Truk itu bergerak sedikit terlalu awal. Kemudian dua mobil tersebut berhenti. Semuanya berhenti. 2 detik kemudian terdengar perintah 'tembak'. Siapa yang memberi perintah dan kepada siapa? 'Dari komandan kesatuan...kepada semuanya. Semuanya dengar, tembak'."

Razeq yang menjadi target duduk di kursi penumpang, paling dekat jaraknya dengan APC. "Saya yakin melihatnya dengan sangat jelas. Saya mulai menembak. Semua orang mulai menembak. Kemudian saya kehilangan kontrol. Saya menembak lebih dari 1 atau 2 detik. Setelah kejadian saya menghitung, ada 11 peluru di kepalanya. Saya seharusnya cukup satu kali menembak. Hanya itu. Tapi saya menembak selama 5 detik. Kemudian saya melihat melalui teropong, terlihat hanya ada separuh kepalanya. Saya tidak punya alasan untuk meenmbakkan 11 peluru. Mungkin saat itu saya ketakutan, dan ingin menguasai keadaan, sehingga saya terus menembak," cerita J.

Sepanjang yang ia ingat, perintah menembak bukan hanya ditujukan kepada penembak jitu yang berada di APC.Ia tidak tahu, apakah tentara yang berada di truk menembak karena merasa ada yang menembaki mereka dari arah mobil-mobil itu. Tapi katanya, setelah ia berhenti menembak, keadaan tambah parah. Tembakan semakin gencar.

"Saya kira tentara yang berada di dalam truk mulai panik. Mereka terus menembak dan kemudian salah satu mobil itu mulai bergerak. Kemudian komandan berkata, 'berhenti, berhenti,berhenti, berhenti!' Baru beberapa detik kemudian tembakan benar-benar berhenti. Setelah itu saya melihat kedua mobil penuh dengan lubang bekas tembakan. Termasuk mobil pertama yang seharusnya tidak berada di sana."

Razeq dan Dhuhair tewas. begitu juga dengan Abu Laban dan Al Leddawi. Ajaibnya, sopir taxi Nahed Fuju, tidak terluka. J ingat hanya ada 4 mayat yang tergeletak.

"Saya sangat terkejut melihat mayat-mayat itu. Kelihatan seperti karung dan dikerubungi lalat. Kemudian mereka bertanya siapa yang menembak mobil pertama [taxi Mercedes], tak ada seorang pun yang menjawab. Saya kira semua orang bingung. Sudah sangat jelas bahwa situasinya menjadi kacau dan tak ada seorang pun yang mengakuinya. Namun, komandan tidak melakukan debriefing formal hingga kami kembali ke markas."

"Komandan memasuki ruangan dan berkata, 'Selamat. Kita mendapat telepon dari Perdana Menteri dan dari menteri Pertahanan serta Kepala Staf. Mereka semua memberi kita selamat. Misi kita berhasil dengan sempurna. Terima kasih'. Dan dari situ saya mengerti bahwa mereka sangat puas."

J mengatakan bahwa hanya ada diskusi setelah operasi itu selesai. Yang hanya membahas resiko terjadinya friendly fire, karena salah satu kendaraan IDF terkena peluru yang memantul, yang membuat seorang tentara kesal sehingga turun dari kendaraan 4x4-nya kemudian menembaki lagi mayat-mayat yang sudah tergeletak tak berdaya.

J menyampaikan kesannya,"sepertinya mereka ingin orang-orang palestina tahu jika kami meningkatkan intensitas perlawanan kami. Rasanya seperti mendapat sukses besar. Dan saya menunggu akan dilakukannya evaluasi terhadap operasi itu, akan ada pertanyaan-pertanyaan, atau penyesalan atas kekeliruan yang terjadi. Tapi ternyata tidak ada sama sekali. Saya hanya merasakan satu hal, bahwa para komandan tahu operasi itu merupakan sebuah sukses politik yang besar bagi mereka."

Insiden itu disesalkan beberapa pihak. Mohammed Dahlan, yang kemudian menjadi Kepala Keamanan di Gaza dari faksi Fatah, menyebutnya sebagai "pembunuhan barbar". Saat itu Brigadir Jenderal Yair Naveh komandan IDF di Gaza, memberikan alasan kepada pers, bahwa operasi itu awalnya merupakan operasi penangkapan, namun kemudian sesuatu yang aneh terjadi. Razeq mengambil senjata Kalasnikovnya dan berusaha menembak tentara Israel. Oleh karena itu tentara Israel kemudian menembaki mobilnya. Razeq disebut sebagai target utama, sementara 2 orang korban yang berada di dalam taxi disebut sebagai aktivis Fatah yang berhubungan dengan Razeq.

Ayah Al Leddawi mengatakan bahwa putranya berada di tempat dan waktu yang salah saat peristiwa tragis itu terjadi. Dan mereka tidak mengenal 2 orang target utama Israel itu. "Mereka hanya kebetulan berada di sana. Keluarga ini tidak ada hubungannya dengan para pejuang itu," katanya.

Sementara sopir taxi, Nahed Fuju, mengatakan ia tidak mendapat kompensasi apapun dari Israel atas peristiwa itu. Dan ia tidak mau berbicara dengan The Independent di Rafah.

"Anda mau mewawancarai saya, agar Israel dapat mengebom rumah saya?" katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar