Senin, 25 Mei 2009

Jangan Bunuh Guntur!

Oleh: Riyadi Banyu Basri

Anak manusia bernama Guntur Muhammad Romli memang fenomenal. Setelah sukses bertahan hidup dari gebukan bambu kelompok Muslim yang menolak nabi palsu bernama Mirza Ghulam Ahmad, Guntur jadi semakin cerdas. Pukulan tongkat bambu di kepalanya rupanya justru membuat isinya jadi lebih encer.

Kali ini, dia sukses menyelaraskan bahasa sebuah buku hebat berjudul “Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.” Buku yang memuat hasil penelitian para peneliti dari UIN di seluruh Indonesia yang dijamin pasti objektif, lurus dan tanpa bias kepentingan.

Buku ini lumayan tebal, 300-an halaman, masih lebih tipis daripada masterpiece beberapa peneliti Wahid Institute yang berjudul “Negara Tuhan.” Buku yang dibanggakan penulisnya setara dengan Alfiyah Imam Malik dari sisi halamannya, karena mencapai 1000-an halaman.

Meski Ilusi lebih tipis dari Negara Tuhan, keduanya sama-sama dikebut atas pesanan guna memperlancar perang Amerika di Indonesia. Bedanya, buku Guntur ini lebih ringkas dan digratiskan sebagai e-book. Sebuah langkah agar tak menemui nasib seperti Negara Tuhan, menumpuk sampai bulukan di Toko Buku Toga Mas Yogya.

Ada lagi bukti lain makin encernya otak Guntur. Dalam buku itu, semua gerakan Islam yang dituding sebagai “transnasional,” alias datang dan berkembang dari luar Indonesia dianggap sebagai ancaman bagi kesatuan bangsa, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menggandeng NU dan Muhammadiyah, diwakili oleh dua tokohnya: Gus Dur dan Syafii Maarif, buku Guntur itu seolah berusaha merapatkan barisan melawan kelompok seperti PKS, JI, HTI dan Salafi.

Ini adalah langkah maju, setelah sebelumnya Guntur gagal melakukan advokasi pada Ahmadiyah dan nabi palsunya dengan membawa-bawa nama Banser dan NU. SKB yang membatasi kegiatan dan penyebaran ajaran Ahmadiyah akhirnya tetap keluar. Tapi Guntur berhasil meraih posisi sebagai pembela Ahmadiyah dan seluruh kaum minoritas yang merasa terancam oleh perkembangan gerakan-gerakan Islam. Sebelumnya posisi itu banyak diperankan oleh Gus Dur.

Andai saja darah biru NU mengalir di tubuhnya, niscaya Guntur bisa menggantikan posisi Gus Dur yang kini tak punya banyak energi, dibatasi sakit dan dihancurkan intrik-intrik internal di PKB. Terakhir, orang kepercayaan Gus Dur yang dikabarkan hendak jadi menantunya, Sigid Haryo Wibisono, justru meringkuk sebagai pesakitan. Sigid jadi tersangka pembunuhan Nasrudin Abdullah yang menyeret juga nama Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar. Sayang, kasta berbicara, maka Guntur pun hanya punya peluang muncul dengan modal keenceran otak dan kenekadan nyali.

Wahib Baru?

Dua modal itu mengingatkan orang pada Ahmad Wahib. Anak Madura yang sempat nyantri di pesantren tapi kemudian diasuh oleh para romo Katholik di Asrama Realino Gejayan, Yogya. Wahib menggoreskan banyak kegundahannya terhadap Islam di Indonesia dalam catatan hariannya.. Barangkali mumet karena kebanyakan ilmu, ilmu pesantren dan ilmu Realino, coretan Wahib menyiratkan kebingungan dan keraguan terhadap Islam.

Kemudian Wahib mencari nafkah di Jakarta, menjadi reporter di Majalah Tempo. Di sana ia nyantri lagi pada Goenawan Mohammad yang kini menjadi bapak asuh bagi Guntur dan teman-temannya dari JIL. Goenawan juga yang membela dan mencak-mencak ketika Guntur digebuki karena ngotot membela nabi palsu Ahmadiyah.

Kembali ke Wahib, suatu malam ketika ia keluar dari kantor Tempo, ia ditabrak lari hingga tewas. Kasusnya misterius. Riwayat hidupnya tamat, tapi riwayat catatan hariannya justru baru dimulai. Semua keraguannya tentang Islam dibingkai indah oleh Djohan Effendi, orang Ahmadiyah yang sempat menjadi Litbang Depag dan menjadi Mensesneg kabinet Gus Dur.

Maka jadilah Wahib seorang martir yang dipuja-puja oleh generasi muda liberal. Bukunya seolah menjadi kitab suci bagi mereka yang ingin belajar meragukan Islam. Orang tak harus repot-repot nyantri di pesantren dan belajar dari para romo untuk bisa pusing dan bingung seperti Wahib. Catatan hariannya sangat membantu menciptakan kepusingan dan kebingungan.

Dari kasus Wahib orang kemudian mengenal sebuah model penciptaan martir. Cari kader yang muda dan berani untuk menyuarakan hal-hal yang tabu, kemudian bunuh dia. Maka seorang martir akan lahir untuk dipuja dan sebuah kitab suci baru akan lahir. Jadilah Wahib semacam nabi baru bagi orang-orang liberal.

Kini Guntur menjalani pola sejarah yang sama. Dia muda, otaknya encer karena digebuki dan nyalinya tinggi karena dikawal bodyguard bercelurit. Dia juga didukung para sesepuh liberal dan jaringan mereka yang tersebar di UIN-UIN seluruh Indonesia.

Tapi kini dia dihadapkan pada banyak kelompok yang ia tuding sebagai preman berjubah. Orang-orang Islam yang siap membunuh kalau keyakinan mereka dilecehkan. Mereka yang ditudingnya punya kaitan dengan gerakan teroris radikal fundamentalis di seluruh dunia. Posisi Guntur menjadi begitu strategis untuk sebuah operasi silet yang bermata dua.

Jika Guntur dibunuh, maka yang dituduh melakukannya pasti orang-orang yang ia serang dalam bukunya. Operasi menangkapi teroris yang akhir-akhir ini sepi bisa dikembangkan dengan menangkapi aktivis Islam yang sudah ditunjuk hidungnya dalam buku Guntur. Itu mata silet yang pertama.

Yang kedua, Guntur akan naik maqom-nya menjadi martir. Ia akan berkumpul di surga perennial bersama Ahmad Wahib, Cak Nur, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa dan orang-orang terbaik di dunia itu. Surga yang terbuka pintunya bagi siapa saja, tak peduli apa agamanya. Sementara tulisan-tulisan Guntur dan bukunya akan naik derajat menjadi kitab suci baru.

Bagi kekuatan yang selama ini mendanai dan memberi ruang menulis bagi Guntur, dua hal itu pasti sangat menguntungkan. Membuat Guntur menjadi martir sangat mudah, di Jakarta Nasrudin bisa didor oleh orang bayaran berhonor 30 juta. Tentu biaya ini murah, lebih murah daripada membiayai JIL dengan beragam kegiatan dan medianya.

Bagi Guntur sendiri, pilihan masih ada. Dia bisa berhenti dari perjuangan liberalnya dan membangun hubungan yang lebih baik dengan sesama anak bangsa. Atau dia memilih jalan terus dengan peluang terbunuh menjadi martir. Maka ia akan terjerumus seperti Osama bin Laden dan Taliban yang dianggapnya sebagai fundamentalis, radikal dan teroris. Padahal, meski jalannya sama-sama mati sebagai martir, jurusan surganya akan berbeda.

Sementara bagi kelompok yang diserang Guntur dalam bukunya, skenario silet itu akan merepotkan mereka. Akan lebih bijak jika mereka biarkan saja Guntur dan bukunya lenyap sendiri. Pada dasarnya bangsa Indonesia tak menyukai orang-orang yang terlalu pede dan suka menuding-nuding orang lain.

Apalagi keenceran otak Guntur membuatnya meluncurkan buku itu menjelang pemilihan presiden. Padahal di dalamnya banyak serangan bagi PKS yang kini berkoalisi dengan SBY, capres terkuat saat ini. Orang dengan mudah akan menganggapnya sebagai black campaign, nilai ilmiahnya akan dicuekin dan derajatnya akan dianggap sama dengan isu-isu politik lainnya. Setara dengan isu bahwa SBY pernah menikah sebelum masuk AKABRI, isu bahwa Gus Dur pernah selingkuh dengan Aryanti dan isu bahwa Syafii Maarif adalah seorang agen Freemasonry.

Jadi, untuk kelompok-kelompok yang anti nabi palsu dan nabi baru, cermatilah situasi. Jangan sampai kemarahan dan sikap gegabah mendorong mereka menciptakan nabi dan kitab suci baru. Bagaimana caranya? Tahan diri, pilih langkah cerdas, jangan bunuh Guntur!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar